-Bury a feeling is a tiresome thing, isn’t it?
Hear the words of wisdom : Let it be-
Seorang gadis berjalan menuju kelasnya, hendak mengambil tas untuk pulang. Peluh membasahi wajah gadis itu, pasalnya ia barus saja selesai latihan rutin ekskul basket yang melelahkan. Dua langkah, buang, batin gadis itu. Dua langkah, buang.
Ia membuang napas setiap dua langkah agar napasnya kembali teratur. Rambut hitamnya yang dikucir satu bergoyang kala ia menoleh ke belakang. Koridor sekolah sore itu sepi, hanya terdengar langkah kakinya yang cepat dan pantulan bola basket dari kejauhan di lapangan basket putra. Kok perasan gue nggak enak, ya?
Pintu berwarna cokelat itu kini sudah berada di hadapannya. Klek!
Gadis itu membuka pintu kelasnya. Mata gadis itu langsung menangkap sosok lelaki yang sedang menunduk membaca sesuatu. Rambutnya basah, tali sepatu ketsnya terlepas, dengan tas terselempang di bahunya dan bola basket di dekat kakinya. Seketika lelaki itu mendongak. Mereka bertemu pandang tanpa perencanaan. Lelaki yang ia kenal sebagai Rendi itu terkejut dan terlihat gugup.
"H-hei," sapanya.
Awalnya gadis itu tidak menyadari apa-apa, sampai matanya menangkap buku apa yang dipegang Rendi. Jurnal pribadinya! Mata gadis itu membelalak. Dengan satu gerakan cepat, ia mengambil tasnya lalu berlari pergi. Setelah apa yang terjadi barusan, ia tidak akan sanggup berada di dekat Rendi, karena Rendi pasti sudah membacanya. Apa yang ia tulis di jurnalnya. Segala perasaannya terhadap laki-laki itu.